Kevakuman Norma “Pembatalan Dakwaan Tanpa Keberatan”
Penulis : JAYADI HUSAIN, S.H.,M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta
Terdapat kevakuman norma hukum acara dalam hal dakwaan yang tidak memenuhi syarat-syarat Pasal 143 ayat 2 huruf b dan oleh KUHAP dikategorikan sebagai dakwaan batal demi hukum dalam Pasal 143 ayat 3, sedangkan terhadap ketidaksempurnaan surat dakwaan tersebut apabila tidak diajukan keberatan oleh Terdakwa maupun Penasihat hukum, maka prosedur penyelesaian yang semestinya dapat diambil oleh Hakim tidak ditemukan normanya didalam KUHAP.
Pasal 143 ayat 2 huruf b tersebut dapat dianggap sebagai bagian yang memperjelas sebagian ruang lingkup materi Pasal 156 ayat 1 khusus mengenai surat dakwaan batal demi hukum. Dapat pula diartikan sebagai ketentuan yang membuat kriteria tentang surat dakwaan yang batal demi hukum.
Dilain pihak Pasal 156 Ayat 1 KUHAP adalah lebih luas ruang lingkupnya karena mengatur hal lain daripada yang telah diberi penjelasannya dalam Pasal 143 ayat 2 huruf b berupa pernyataan Hakim dan Pengadilan Negeri bahwa tidak berwenang mengadili perkara Terdakwa yang diajukan dalam surat dakwaan ataupun surat dakwaan seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima.
Ketiga hal yang dapat dinyatakan oleh Hakim tersebut bertumpu pada adanya keberatan Terdakwa dan Penasihat Hukum serta hanya dapat dituangkan dalam bentuk putusan sela. Artinya tidak dimungkinkan tanpa adanya keberatan dan tak dapat dituangkan selain dalam bentuk putusan sela.
Argumen hukum itu dapat disimpulkan dan terasa logis bila didasarkan pada pembacaan Pasal 156 KUHAP dan Pasal 143 ayat 2 dan 3 KUHAP dalam hubungan dan konstruksi sistematis keduanya.
Pasal 156 KUHAP hanya mengatur sebuah bentuk putusan yang diistilahkan dengan putusan sela. Putusan Sela adalah putusan yang berisi penyataan Hakim tentang salah satu dari tiga kemungkinan berupa dibawah ini dan tidak termasuk materi pokok perkara, yaitu:
- Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili.
- Dakwaan tidak dapat diterima.
- Dakwaan batal demi hukum.
Putusan Sela yang berisi salah satu dari tiga kemungkinan tersebut diatas diberi batasan sebagai syarat yang membatasi Hakim untuk dapat menjatuhkannya hanya apabila ada keberatan dari Terdakwa dan Penasihat Hukum tentang ketiga hal tersebut.
Sedikit pengecualian terhadap pernyataan tidak berwenang mengadili, Pasal 156 Ayat (7) KUHAP secara ex officio memberi wewenang pada Hakim Ketua Sidang untuk memberi penetapan tidak berwenang meski tanpa “perlawanan” dari Terdakwa. Sampai disini ditemui istilah perlawanan, yang apakah dimaksudkan sama maknanya dengan keberatan juga masih harus diberi penafsiran dengan tepat.
Apabila dapat disederhanakan, maka disimpulkan keberatan maupun perlawanan merupakan term hukum yang merujuk pada sebuah makna yang sama bila dikaitkan dengan Terdakwa yaitu sebuah pernyataan sikap dari Terdakwa atas surat dakwaan yang telah dibacakan kepadanya, dimana ia menolak karena pada dakwaan tersebut melekat sifat ketidaksempurnaan karena alasan formalitas.
Hanya saja dari subtansi yang sama antara keduanya, terdapat impilikasi praktek penerapan yang berbeda bila tetap mengacu pada kaitan norma dalam KUHAP, yakni jika ada keberatan maka pernyataan tidak berwenang melalui putusan sela, sedangkan jika tidak ada keberatan/perlawanan adalah melalui penetapan.
Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana penyelesaian yang dapat ditempuh oleh Hakim ketika tidak diajukan keberatan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum meskipun secara nyata ditemukan surat dakwaan tersebut merupakan surat dakwaan yang batal demi hukum atau tidak dapat diterima.
Dalam persoalan ini KUHAP tidak memungkinkan bagi Hakim untuk menjatuhkan Putusan Sela ketika tidak terdapat keberatan.
Selain Putusan Sela, maka KUHAP mengatur dalam Pasal 1 angka 11 yang disebut putusan pengadilan dan identik dengan putusan akhir karena berisi penyataan Hakim tentang pemidanaan atau bebas atau lepas dari tuntutan hukum yang didasarkan atas pemeriksaan materi perkara tindak pidana.
Selanjutnya menimbang pertanyaan ketika Hakim tidak dapat memutuskan hal itu dalam Putusan Sela tanpa ada keberatan, maka apakah ia dapat memutus dalam bentuk putusan akhir meskipun tanpa ada keberatan?
Kemungkinan Hakim ketika memberi putusan atas persoalan dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan batal demi hukum dalam bentuk putusan akhir, dapat ditemukan secara implisit hanya dengan metode pembacaan KUHAP dalam konteks sistemika pengaturannya. Tanpa itu kita terjebak pada pembacaan dengan perspektif sempit yang bertumpu pada Pasal 143 dan 156 KUHAP sehingga menghasilkan kesimpulan sebagai putusan tidak berdasar KUHAP jika memutus tanpa keberatan, demikian pula dengan putusan akhir yang hanya mengatur bahwa putusan akhir itu hanya berisi pernyatan Hakim tentang salah satu dari pemidanaan (Pasal 193 ayat 1) atau bebas (Pasal 191 ayat 1) atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat 2).
Berangkat dari pemikiran demikian maka KUHAP harus dibaca dengan mengembangkan pemahaman yang berangkat dari metode penafsiran yang lebih mendalam atas persoalan ini.(JH)