PERKATAAN FEIT DALAM TINDAK PIDANA SAMENLOOP
Oleh : IRWANTO, SH
(Hakim & Juru Bicara Pengadilan Negeri Tilamuta)
“Pengabaian penerapan samenloop dalam mendakwa perkara yang mengandung samenloop dengan sendirinya mengabaikan penerapan sistem penjatuhan hukuman dalam tindak pidana samenloop, karena setiap bentuk tindak pidana yang mengandung samenloop telah ditentukan sistem penghukumannya atau pemidanaanya”, hal tersebut erat kaitannya dalam menentukan peristiwa hukum (feit) yang tejadi.
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, memperkenalkan kepada kita suatu istilah sebagai terjemahan dari perkataan ” samenloop atau concursus” yaitu perkataan ”perbarengan” yang merupakan dari bahasa jawa yakni kata ”bareng” yang berarti ”bersama”, untuk menggantikan perkataan gabungan yang hingga kini telah lazim digunakan baik dalam yurisprudensi maupun dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.
Berdasarkan hal tersebut, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita diaturlah samenloop van strafbare feiten atau yang dikenal perbarengan tindak pidana mulai dari pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP. Berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana yang diadili secara bersama-sama.
Namun kenyataannya penerapan pasal-pasal tertentu dalam perbarengan tindak pidana sangat jarang diterapkan. Tidak diterapkannya pasal ini, bisa saja disebabkan adanya kesulitan dalam menentukan peristiwa hukum yang tejadi. Apakah tertuduh telah melakukan satu tindak pidana yang masuk dalam lebih daripada satu aturan pidana atau telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana. Hal tersebut, tentunya tidak tepat dalam menjatuhkan hukuman karena sudah ditentukan sistem penghukumannya atau pemidanaannya.
Untuk memahami samenloop van strafbare feiten maupun permasalahan-permasalahan yang timbul terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang perkembangan paham-paham mengenai parkataan feit yang terdapat dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur tentang samenloop itu sendiri.
Feit diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman sebagai suatu terjemahan resmi dari Wetboek van Strafrecht sebagai suatu materiele feit atau suatu meteriele handeling atau sebagai suatu perbuatan yang nyata;
Yang perlu diketahui, orang hanya dapat berbicara mengenai adanya suatu samenloop van strafbare feiten apabila di dalam suatu jangka waktu tertentu, seseorang telah melakukan lebih dari pada satu tindak pidana, dan dalam jangka waktu tersebut belum pernah dijatuhi pidana dari salah satu tindak-tindak pidana yang telah ia lakukan. Apabila dalam jangka waktu itu, telah dijatuhi pidana karena dari salah satu tindak-tindak pidana yang telah ia lakukan maka orang tidak dapat lagi berbicara mengenai adanya suatu samenloop melainkan hal tersebut adalah suatu pengulangan tindak pidana atau suatu recidive.
Samenloop van strafbare feiten atau perbarengan tindak pidana secara umum dikenal sebagai berikut:
- Eendaadse samenloop atau gabungan satu perbuatan.
- Meerdaadse samenloop gabungan beberapa perbuatan.
- Voortgezette handeling atau perbuatan yang berlanjut.
Dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang Samenloop van strafbare feiten atau perbarengan tindak pidana berbunyi sebagai berikut:
“jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana maka yang dikenakan hanya salah satu dari diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
Rumusan pasal tersebut, tampaknya sederhana namun tidaklah semudah yang diperkirakan. Kesulitannya terletak pada penafsiran perkataan feit yang terdapat dalam rumusan pasalnya. Dahulu orang mengira ”suatu feit” hanya dapat dianggap ada apabila oleh satu tindakan telah terjadi beberapa tindak pidana. Sehingga untuk menentukan suatu samenloop orang harus membedakan apakah sipelaku hanya melakukan satu tindakan diartikan menurut arti sebenarnya sebagai suatu pelaksanaan secara materil atau telah melakukan beberapa tindakan.
Hoge Raad dalam arrestnya ”feit” itu berarti suatu tindakan dalam arti material. Perbuatan bersepeda di jalan yang terlarang tanpa memakai sebuah bel itu merupakan satu tindakan. Demikian halnya perbuatan bersepeda ke arah yang terlarang dan tanpa memakai tanda pembayaran pajak sepeda adalah juga merupakan satu tindakan. Dalam perjalanannya Hoge Raad mengubah pendiriaanya dengan suatu penafsiran yang baru mengenai suatu ketentuan pidana dalam arrestnya ”perilaku seseorang yang mengemudikan mobilnya dalam keadaan mabuk tanpa menyalakan dua buah lampu depannya itu bukan lagi sebagai suatu eendaadse samenloop melainkan suatu meerdaadse samenloop”.
Alasan perubahan penafsiran Hoge Raad dalam arrestnya, kenyataan pertama adalah keadaan tertuduh sedangkan dalam keadaan yang kedua adalah keadaan mobilnya. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan-kenyataan yang berdiri sendiri. Masing-masing merupakan pelanggaran yang berdiri sendiri dengan sifat yang berbeda-beda dengan kata lain, kenyataan yang satu tidak ada kaitannya dengan kenyataan yang lain. Dan kenyataan yang satu itu bukan merupakan syarat bagi timbulnya kenyataan yang lain. Kenyataan-kenyataan tersebut sebagai kenyataan-kenyataan yang berdiri sendiri sebagai suatu meerdaadse samenloop. Atau tindakan-tindakan yang berdiri sendiri-sendiri yang telah menghasilkan kejahatan-kejahatan yang berbeda-beda.
Berdasarkan hal tersebut perkataan feit oleh Hoge Raad dari arrest-arrestnya dapat ditafsirkan secara berbeda-beda yakni sebagai kenyataan, sebagai tindakan dan sebagai segala sesuatu yang dapat termasuk ke dalam suatu ketentuan.
Perkataan feit menurut Profesor Pompe feit dalam rumusan pasal 63 ayat (1) sebagai suatu perilaku yang nyata yang ditujukan yang ditujukan kepada suatu tujuan yang tertentu, yang juga merupakan objek dari norma-norma atau suatu perilaku yang ditujukan kepada hanya satu tujuan yang juga merupakan objek dari norma-norma.
Sehingga adanya suatu feit terletak pada satu-satunya tujuan atau maksud dari suatu perilaku yang nyata, sejauh tujuan itu merupakan objek dari norma-norma yang merupakan suatu perilaku yang terlarang dan diancam dengan hukuman. Oleh karena itu adanya satu tujuan juga menunjukkan adanya satu perilaku yang harus diartikan sebagai tujuan yang mempunyai arti menurut hukum pidana. Apabila di dalam suatu peristiwa terdapat satu tujuan yang mempunyai arti menurut hukum pidana maka juga terdapat suatu eendaadse samenloop.
Sebagai contoh seorang ayah yang telah melakukan hubungan kelamin/badan dengan anak gadisnya yang belum cukup umur, perilaku ayah tersebut secara in abstracto memang telah melanggar norma-norma yang terkandung didalam pasal 294 dan pasal 287 KUHP. Akan tetapi in concreto perilakunya itu telah ia tujukan pada satu tujuan yang juga merupakan objek dari norma-norma yaitu untuk memperoleh suatu kepuasan seksual. Perilaku itu bukan hanya mendatangkan suatu kepuasan seksual bagi sang ayah melainkan juga telah menyebabkan terganggunya kesehatan anak gadisnya maka alasan terakhir itu mengenai terganggunya kesehatan anak gadisnya tidak menjadi masalah karena tidak mempunyai arti menurut hukum pidana. Dan justru karena adanya satu tujuan yang mempunyai arti menurut hukum pidana itulah orang dapat mengatakan telah terdapat eendaadse samenloop.
Dengan demikian feit itu adalah suatu perilaku yang telah termasuk kedalam satu ketentuan pidana akan tetapi karena menunjukkan sifat-sifat yang khusus maka perilaku itu juga dapat dimasukkan ke dalam suatu ketentuan pidana yang lain. Artinya meskipun perilaku itu diatur atau dilarang dalam 2 atau beberapa pasal atau ketentuan akan tetapi pasal 63 ayat (1) mengatakan bahwa tertuduh hanya melakukan satu kesalahan, dan demi hukum dan keadilan tertuduh hanya satu kali dapat dijatuhi hukuman.
Samenloop van strafbare feiten atau perbarengan tindak pidana dalam rumusan pasal 65 ayat (1) dan rumusan pasal 66 ayat (1) KUHP merupakan meerdaadse samenloop. Oleh pembentuk undang-undang menghendaki agar terhadap pelaku diberikan satu hukuman dalam bentuk cummulatie van straffen atau penumpukan hukuman-hukuman yang telah diancamkan terhadap feit/tindakan-tindakan pelaku. Akan tetapi bukan dalam bentuk penumpukan yang bersifat murni melainkan dalam bentuk penumpukan yang bersifat sedang. Artinya penumpukan hukuman-hukuman itu tidaklah boleh terlalu berat akan tetapi juga tidak boleh terlalu ringan.
Sebab pembentuk undang-undang telah menghendaki agar dalam meerdaadse samenloop hendaknya dijatuhkan suatu penumpukan yang bersifat sedang dalam memorie van toelichting menyatakan ”beratnya hukuman itu pada dasarnya selalu dibuat lebih berat sesuai dengan bertambah lamanya atau bertambah beratnya hukuman itu sendiri. Dua tahun hukuman penjara merupakan hukuman yang lebih berat daripada dua kali satu tahun hukuman penjara atau hukuman kurungan.
Misalnya:
“seseorang yang telah melakukan pencurian dan kemudian melakukan perlawanan terhadap seorang yang menjalankan tugas jabatannya secara sah untuk melakukan penangkapan terhadap dirinya. Perbuatan itu sebenarnya orang itu telah melakukan lebih daripada satu tindakan yang terlarang dan dengan melakukan tindakan-tindakan tersebut, orang telah melanggar beberapa ketentuan pidana”.
Samenloop van strafbare feiten atau perbarengan tindak pidana dalam rumusan pasal 64 ayat (1) KUHP. Pada prinsipnya mengenai beberapa perilaku yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri akan tetapi karena terdapat suatu hubungan yang sedemikian rupa maka perilaku-perilaku itu harus dianggap sebagai satu (feit) tindakan yang berlanjut. Artinya tiap-tiap perilaku itu harus dituduhkan secara sendiri-sendiri dan harus dibuktikan pula secara sendiri-sendiri. Dengan kata lain tiap-tiap perilaku itu dapat mempunyai locus delicti-nya sendiri, tempus delicti-nya sendiri dan dapat mempunyai verjaringstermijn-nya sendiri.
Di dalam memorie penjelasan mengenai pembentukan pasal 64 KUHP mensyaratkan suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis. Dijelaskan juga suatu pencurian dan suatu pembunuhan atau suatu pencurian dan suatu penganiayaan itu secara bersama-sama tidak akan pernah dapat menghasilkan suatu perbuatan berlanjut oleh karena:
- Untuk melaksankan kejahatan-kejahatan itu pelakunya harus membuat lebih daripada satu keputusan yang merupakan kesatuan kehendak dalam peristiwa yang sama.
- Untuk membuat keputusan-keputusan dan untuk melaksanakannya pelakunya pastilah memerlukan waktu yang berbeda.
Menurut memorie penjelasan tersebut, orang hanya dapat mengatakan beberapa perilaku itu secara bersama-sama merupakan suatu voortgezette handeling atau suatu perbuatan berlanjut yaitu:
- Apabila perilaku-perilaku orang tertuduh itu merupakan pelaksana satu keputusan yang terlarang.
- Apabila perilaku-perilaku seorang tertuduh telah menyebabkan terjadinya beberapa tindak pidana yang sejenis.
- Apabila pelaksanaan tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain itu tidak dipishkan oleh suatu jangka waktu yang relatif cukup lama.
Hoge Raad dari beberapa arrestnya berpegang teguh pada kriteria-kriteria tersebut di atas antara lain:
- “untuk adanya suatu feit/tindakan yang berlanjut tidaklah cukup jika beberapa tindak pidana itu merupakan tindak-tindak pidana yang sejenis, akan tetapi tindak-tindak pidana itu haruslah pula merupakan pelaksanaan satu maksud yang sama yang terlarang menurut undang-undang”.
- “tindak-tindak pidana yang sejenis saja tidak mencukupi apabila dua tindak pidana itu telah dipisahkan oleh suatu jangka waktu dan ternyata tertuduh pada waktu melakukan tindak pidananya yang pertama itu juga tidak memutuskan apa yang akan dilakukannya kemudian maka disitu tidak terdapat suatu feit/tindakan yang berlanjut”.
Misalnya:
“seseorang yang telah mencuri setumpuk papan yang karena jumlahnya yang banyak maka papan tersebut telah ia bawa pulang secara berangsur-angsur”.