Oleh : HASANUDIN, S.H., M.H.,
Akreditasi standar Indonesia Court Performance Excellence (ICPE) menempatkan kepemimpinan (leadership) sebagai komponen penting yang menentukan penilaian. Score maksimal 200 dari total 1000 akan didapatkan bila leadership dianggap sempurna. Selain leadership masih ada penilaian terhadap strategic planning (score 100), customer focus (score 200), document system (score 100), resource management (score 100), process management (score 200) dan performance result (score 100). Nilai excellent didapatkan bila mencapai score minimal 700.
Leadership akan diaudit pada sesi pertama. Pada sesi tersebut sudah akan tergambar elemen akreditasi lainnya. Bila leadership bagus, maka dapat dipastikan elemen lain juga bagus. Bila leadership minimalis, maka sebaliknya akan terpapar berbagai kelemahan dalam elemen lainnya.
Sistem boleh matang, sumber daya boleh hebat, tetapi tanpa leadership yang baik tidak akan berfungsi maksimal. Lagi pula budaya kita sangat paternalistik, kebapakkan, sehingga organisasi peradilan sangat bergantung kepada siapa yang memimpin. Kepedulian pimpinan berpengaruh besar terhadap kemajuan, kemandegan maupun jatuh bangunnya organisasi.
Pimpinan Sebagai Panutan
Kepemimpinan adalah seni, bukan hard skill yang didapatkan dari perkuliahan, tetapi tumbuh dari pengalaman. Kepemimpinan merupakan soft skill yang terasah selaras dengan pemahaman, kedewasaan dan kematangan jiwa. Suatu style kepemimpinan yang teruji cocok, belum tentu cocok diterapkan di organisasi lain. Sangat kasuisitis, sehingga semestinya seorang pimpinan terlebih dahulu melakukan pemetaan (mapping) terhadap semua potensi sumber daya. Dengan begitu akan diketahui semua kekuatan dan kelemahan sehingga tindakan tepat dapat diambil sesuai karakteristik yang ada.
Pimpinan harus menjadi panutan (role model). Baik dalam hal kapasitas maupun integritas, baik dalam ucapan maupun tindakan. Kata Ki Hadjar Dewantara “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Pimpinan harus menjadi suri tauladhan, bahkan di tengah kesibukan tetap harus membangkitan dan menggugah semangat jajarannya. Pimpinan harus selalu memberikan dorongan moral yang menumbuhkan kreatifitas dan inovasi.
Respek dan hormat akan didapatkan bila pimpinan telah menjadi panutan. Hal itu akan memunculkan sikap kesukarelaan mengikuti pimpinan. Selanjutnya tinggal mengisi ulang (reload) dengan selalu meningkatkan pengaruh. Kata John C. Maxwell “leadership is influence…nothing more, nothing less”.
Apabila ini didapat, langkah mudah melakukan perubahan sudah di depan mata. Visi besar pimpinan dapat segera dilaksanakan.
Butuh Peran Lebih Pimpinan
Sesunguhnya mempelajari makalah-makalah terkait akreditasi cukup membingungkan. Sangat abstrak ditambah dengan istilah-istilah yang tidak familiar sehingga tidak mudah menterjemahkan dan mengaplikasikannya dalam tugas sehari-hari. Sosialisasi belum intens menjangkau daerah-daerah khususnya luar Jawa, sehingga belum tentu dalam satu pengadilan terdapat hakim atau pegawai yang memahami konsep akreditasi.
Harus diakui menerapkan akreditasi standar ICPE tidak segampang menerapkan standar manajemen mutu ISO. Akreditasi ICPE meliputi standar manajemen mutu ISO 9001:2008 yang diperkaya dengan international framework court excellence (IFCE), pelaksanaan reformasi birokrasi, pembangunan zona integritas, standar pengawasan Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan standar penilaian Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum tahun 2014.
Peran pimpinan sangat penting. Untuk mendapatkan kepercayaan dari jajarannya, maka ia harus dapat memberikan solusi atas setiap permasalahan penerapan akreditasi. Untuk itu pimpinan harus mempunyai semangat belajar melebihi semua. Pimpinan harus menterjemahkan konsep akreditasi yang abstrak menjadi kebijakan kongkrit. Sekaligus memetakan dan menjadwalkan kegiatan-kegiatan menuju penerapan akreditasi.
Pemahaman tentang administrasi peradilan sangat diperlukan. Memang tugas administrasi sehari-hari dilaksanakan oleh panitera dan sekretaris, tetapi sesungguhnya pimpinan adalah administrator tertinggi. Pemahaman tentang administrasi diperlukan berkelindan dengan kemampuan manajerial. Dua hal itu akan berguna dalam proses menuju penerapan akreditasi.
Penutup
Langkah menuju penerapan akreditasi harus dimulai dari komitmen bersama pimpinan, hakim dan seluruh pegawai. Membangun komitmen bersama dapat dimulai dengan memberikan semangat dan motivasi, kemudian menanamkan nilai-nilai tentang pentingnya pemenuhan kewajiban dan jiwa pengabdian.
Selebihnya tinggal melaksanakan tugas-tugas administrasi sesuai buku II, melaksanakan semua ketentuan Mahkamah Agung tentang penyelenggaraan peradilan, menerapkan konsep 5 R (ringkas, rapi, resik, rawat dan rajin) dan 3 S (senyum, salam, sapa) serta melaksanakan program-program reformasi birokrasi dan pembangunan zona integritas.
Pedomani dan terapkan quote “tulis apa yang dikerjakan, kerjakan apa yang ditulis”. Untuk memenuhi syarat manajemen mutu ISO, persiapkan diantaranya struktur manajemen mutu, kebijakan mutu, sasaran mutu, manual mutu, instruksi kerja terkait manajemen representatif, standar operasional prosedur, survey kepuasan masyarakat, audit internal, dan tinjauan manajemen.
Akreditasi penjaminan mutu bertujuan mewujudkan performa peradilan yang unggul (prima). Hakekat sesungguhnya merupakan pelaksanaan reformasi birokrasi, sehingga tiga sasaran utama reformasi birokrasi harus terwujud, yaitu organisasi yang bersih KKN, peningkatan kapasitas dan akuntabilitas, dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Pengalaman penulis, banyak hal yang perlu dikerjakan dan dibenahi untuk menuju akreditasi. Oleh karena itu mempersiapkan akreditasi butuh waktu yang tidak sedikit. Persiapan secara instan mungkin berhasil, tetapi menurut penulis akan gagal merubah budaya kerja (culture set) dan pola pikir (mind set).