Selasa, 30 Mei 2003, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta, Jayadi Husain S.H., M.H. bertempat di Ruang Tamu Terbuka menerima kunjungan dari tim Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Gorontalo. Pertemuan tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Kementrian Hukum dan HAM dalam mengkaji implementasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 43 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Kajian atas kebijakan (beleid) tersebut , khusus wilayah kerja Provinsi Gorontalo dilakukan melalui sebuah studi yang bekerja sama dengan salah satu Perguruan Tinggi di Provinsi Gorontalo dengan kerangka judul “Analisis Permenkumham Nomor 43 Tahun 2021 dalam Pelaksanaan Asimilasi dan Reintegrasi Sosial bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di Masa Pandemi Covid-19″.
Pengadilan Negeri Tilamuta sebagai lembaga pemangku Kekuasaan Kehakiman di wilayah Kabupaten Boalemo menjadi salah satu pihak yang dimintai pandangan dalam studi atas kebijakan tersebut melalui sebuah wawancara terstruktur dengan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta yang didampingi Hakim Pengawas dan Pengamat Rastra Dhika Iriansyah, S,H., S.Kom., M.H. salah satu Hakim Pengadilan Negeri TIlamuta.
Adapun implementasi Permenkumham Nomor 43 Tahun 2021 tersebut memerlukan pandangan konstruktif dari Pengadilan Negeri karena berkaitan erat dengan salah satu kewenangan Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan pengawasan dan pengamatan atas pelaksanaan putusan Pengadilan Negeri yang berupa pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) sesuai amanat Pasal 277 Ayat (1) KUHAP. Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri tersebut dilaksanakan dengan bantuan salah satu Hakim Pengadilan Negeri yang ditunjuk sebagai Hakim Pengawas dan Pengamat (Wasmat).
Lebih lanjut KUHAP mengamanatkan bahwa kewenangan pengawasan oleh Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan putusan (dalam praktek lebih sering digunakan istilah “eksekusi”) sebagai unsur pertama dari pranata Wasmat, dilaksanakan dengan tujuan untuk memastikan apakah putusan tersebut telah dilakukan sebagaimana mestinya menurut ketentuan perundang-undangan, lebih khusus dalam aspek proseduralitasnya. Sedangkan yang bertugas melaksanakan setiap putusan pengadilan dan kemudian diawasi pelaksanaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut adalah Jaksa pada lembaga Kejaksaan, karena KUHAP mengatur bahwa Jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Dalam wawancara terstruktur tersebut Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tilamuta mengemukakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasaan putusan, maka Mahkamah Agung R.I melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 1985 memberikan landasan yang lebih rinci terkait ruang lingkup tugas Hakim Wasmat, yang meliputi:
- Apakah Jaksa telah menyerahkan terpidana kepada Lembaga Pemasyarakatan tepat pada waktunya.
- Apakah masa pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan benar-benar dilaksanakan secara nyata dalam praktek oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
- Apakah pembinaan narapidana (warga binaan) didalam Lembaga Pemasyarakatan memenuhi prinsip-prinsip kemanusiaan dan narapidana telah memperoleh hak-hak hukumnya.
Secara teoritis hal diatas berkaitan dengan sistem dalam KUHAP yang menganut azas diferensiasi fungsional, artinya Sistem Peradilan Pidana secara terpadu (integrated criminal justice system) dilakukan menurut fungsi-fungsi yang dibedakan dalam fungsi penyidikan, penuntutan, peradilan, pelaksanaan putusan (pemidanaan).
Selain kewenangan pengawasan atas Pelaksanaan putusan, Ketua Pengadilan Negeri melalui Hakim Pengawas dan Pengamat juga melakukan pengamatan atas Pelaksanaan putusan (masa dijalaninya pidana) perampasan kemerdekaan, sebagai unsur kedua dari pranata Wasmat, tujuannya adalah untuk mendapatkan bahan evaluasi bagi Pengadilan Negeri mengenai pemidanaan yang dijatuhkan berkaitan dengan efektivitas pemidanaan tersebut bagi upaya pemasyarakatan kembali terhadap setiap narapidana, sehingga dapat dirumuskan model dan cara pemidanaan yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat pada umumnya maupun dalam kasus-kasus individual melalui pengamatan perilaku narapidana dan pola pembinaan didalam Lembaga Pemasyarakatan.
Terkait Permenkumham Nomor 43 Tahun 2021, Kementerian Hukum dan HAM secara kelembagaan membawahi Lembaga Pemasyarakatan tempat dimana setiap narapidana sebagai warga binaan menjalani masa pemidanaan, berkepentingan melakukan kajian terhadap implementasi Permenkumham tersebut dalam aspek pelaksanaan asimilasi dan reintegrasi sosial bagi warga binaan pemasyarakatan di masa Pandemi Covid-19.
Bagi Pengadilan Negeri sebagaimana dinyatakan Wakil Ketua Pengadilan Negeri , hal sama juga menjadi fokus kajian Tim pengaji Permenkumham tersebut, adalah penting bahwa konteks dan situasi lahirnya kebijakan tersebut dalam situasi massifnya Pandemi Covid-19 yang melanda tidak hanya Indonesia tapi dunia global mengalami hal sama. Maka menjadi pertanyaan ketika situasi pandemi yang saat ini mengarah kepada transisi menjadi endemi, apakah kebijakan ini masih relevan?. Pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam studi kebijakan (beleid) tersebut, agar hukum tetap setia dengan sebuah adagium klasik ”lex samper dabet remedium” (hukum selalu memberikan solusi) dan tidak terperangkap lebih dalam pada sifat hakiki dari hukum yang dinyatakan sebuah adagium lain ”het recht ink anter de feiten an” (hukum selalu tertinggal dari peristiwa yang diaturnya). (JH)